Langsung ke konten utama

Kenapa Blog? : Esensi Menulis di Media Sosial

Hai. Selamat segala waktu.

Gue bingung deh. Makin kesini, esensi media sosial makin nggak jelas. Kalau menurut sepemahaman gue, media sosial itu buat berbagi, bukan buat pamer. Media sosial itu buat berdiskusi secara online, bukan buat saling bully satu sama lain. Dan nggak seharusnya pengguna media sosial mengharapkan like dan followers sebanyak-banyaknya sampai harus ngeluarin uang buat beli followers. Yaaa kecuali kalau konten mereka memang membutuhkan banyak followers, online shop misalnya.

Selain mengharapkan like, pengguna media sosial sekarang juga pengen postingan mereka viral. Kebanyakan kasus ini terjadi di line. Mereka bikin clickbait macem-macem, padahal inti postingan mereka nggak penting-penting amat. Atau kasus lain, mereka nulis sesuatu yang sangat amat panjang lebar sekali (oke ini nggak efektif penggunaan katanya) dan membagikan di semua grupnya, lalu boom! Postingan mereka viral seketika. Oke, kalau bikin jokes gitu gue masih nggak mempermasalahkan, karena emang gue orangnya receh dan meme hunter (tapi nggak gue save kok memenya, cuma buat bahan hiburan sejenak aja).

Terus ini nihh yang gue nggak habis pikir, apa faedahnya gitu bikin second account? Itu malah menunjukkan bahwa kalian itu orangnya bermuka dua. Padahal tanpa second account aja kita ini sejatinya udah punya 'dua muka' di media sosial. Kenapa? Di dunia maya sok-sokan bahagia, tapi di dunia nyata aja hidupnya ngenes nggak ketulungan. Padahal yaa, sekarang tuh di Instagram ada opsi close friends. Jadi kalian bisa pilih tuh siapa yang kalian bolehin liat story atau postingan kalian, siapa yang nggak kalian bolehin. Jadi kalau menurut gue, second account tuh nggak perlu-perlu amat lah.

Tapi yaudahlah yaa, kenapa gue malah ngurusin hidup orang lain? Ngurusin hidup sendiri aja nggak becus wkwk. Disini gue cuma mau ngebahas, kenapa gue memilih untuk menulis blog pribadi yang sekarang udah nggak terlalu ngetren. Kenapa gue bilang gitu? Soalnya setau gue, kebanyakan blog itu pasti ngeshare sesuatu yang bermanfaat, misalnya berita atau materi pelajaran. Nah ini gue, kenapa gue memanfaatkan blog untuk ngebacot (maaf kasar) nggak jelas. Oke, gue ulas satu persatu alasannya.

Pertama, gue butuh ruang buat menulis tanpa harus memikirkan apakah tulisan gue bakal viral atau mendapat banyak like. Hampir semua media sosial itu ada opsi likenya, dan gue pikir, like ini malah bikin tingkat kegengsian orang meningkat. Orang-orang bakal menulis sesuai trennya, kebebasan menulis pun berkurang. Sebelum berpikir untuk menghidupkan kembali blog ini, gue sering nulis uneg-uneg gue di Twitter. Gue pribadi suka sama Twitter karena gue nggak perlu mikir apakah tweet gue bakal di retweet atau dikomentari orang (karena followers gue sedikit dan gue lihat pengguna Twitter semakin berkurang sekarang).

Selain alasan itu, gue milih blog karena nggak ada batasan karakter buat nulis di blog. Jadi gue bisa lebih bebas menuangkan pikiran gue. Pas gue main ke SMA gue, gue dipesenin sama guru bahasa Indonesia gue buat sering nulis. Dan yah, satu-satunya ruang buat gue menulis bebas adalah blog (selain diary gue). Jadi gini deh lebih gampangnya, gue pengen tulisan gue dibaca orang tanpa gue harus mengkhawatirkan apakah tulisan gue akan viral atau tidak. Lah kenapa nggak nulis di majalah? Diulang ya, gue butuh apa yang namanya BEBAS. Tanpa ada kriteria apapun. Jadi yaa opsinya blog.

Jadi, begitulah kenapa gue memilih blog ketimbang jadi artis line dengan menulis panjang lebar yang disertai clickbait dimana-mana. Oiya, nggak cuma blog sih, gue juga mencoba menggunakan instastory gue buat hal-hal yang berguna, ngeshare puisi atau sajak gue misalnya. Kalau Twitter, gue udah jarang mainin sih. Cuma kalau emang pengen ngeluarin uneg-uneg tapi nggak mau nulis banyak, ya gue ngetweet aja.

Dan yahh, ruang retorik ini seharusnya berganti nama jadi ruang bacot wkwk. Gadeng. Insya Allah dibalik tulisan gue ini, ada hal yang bisa kalian petik. Apa itu? Yaa kan gue bilang insya Allah, jadi terserah kalian mau metik apa enggak. Dan oiya, semua ini murni opini. Gue nggak ada maksud buat nyerang pihak-pihak tertentu.

Cukup sekian tulisan gue hari ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca ini semua. Selamat segala waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Tiga Kali Gagal Nonton Show Cerita Cintaku Raditya Dika, Akhirnya...

Hai, semuanya! Selamat segala waktu. Kalian tahu special show -nya Bang Raditya Dika yang tajuknya Cerita Cintaku, nggak? Itu, tuh, yang sering jadi trending di Youtube. Videonya sih cuma tentang Bang Dika pas baca dan roasting cerita cintanya penonton sih, karena emang Bang Dika kayaknya nggak mau menggunggah show -nya secara lengkap. Jadi, bisa dibilang kalau stand up comedy -nya Bang Dika tahun ini tuh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun Bang Dika biasanya selalu menggunggah SUCRD di Youtube, tapi tahun ini tour special show -nya itu videonya dijual di website Cerita Cintaku. Kalian cek aja sendiri deh, kalau gue sertain hyperlink -nya di sini ntar disangkain ngendorse, heuheu . Gue sebagai.. ya, bisa dikatakan penggemarnya Bang Dika, pastinya merasa antusias dengan show ini dong. Apalagi, menurut gue harga tiketnya bisa dibilang terjangkau untuk ukuran komika level Raditya Dika. Namun, keantusiasan gue ini juga diiringi dengan rasa males dan gampang lupanya gue b

Catatan Aksi 24 September 2019

Halo, semuanya! Selamat segala waktu. Dua hari yang lalu, tepatnya 23 September 2019, beberapa daerah di Indonesia mengadakan aksi mahasiswa, ada Jogja dengan #GejayanMemanggil, ada Solo dengan #BengawanMelawan, ada Surabaya dengan #SurabayaMenggugat, dan lain-lain. Aksi-aksi tersebut dilakukan dalam rangka menggugat agar diadakannya revisi UU KPK dan menolak RKUHP. Para demonstran didominasi oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Sebelumnya, minggu lalu, tepatnya Selasa, 17 September, telah diadakan aksi serupa. Namun, aksi tersebut fokus pada penolakan RUU KPK dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Aksi tersebut dinamai dengan aksi Reformasi Dikorupsi dan diadakan di depan Gedung DPR/MPR. Kemarin. Selasa, 24 September, telah berlangsung aksi besar-besaran yang diikuti oleh seluruh mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya. Terdapat puluhan kampus yang bergabung dalam aksi Tuntaskan Reformasi tersebut. Bisa dibilang, aksi ini lebih besar dari aksi sebelumnya karena bertepat

IWD 2020 #EachForEqual: Karena Wanita Tak Hanya Sekadar Ingin Dimengerti

Jadi perempuan itu bagaikan dua sisi koin. Di satu sisi, perempuan itu punya privilese untuk dijaga, dilindungi, diperlakukan dengan lembut, dan diagungkan kecantikannya. Namun, di sisi lain, privilese itu bisa saja jadi lingkaran setan bagi mereka. Harus dijaga dan dilindungi, nanti dianggap lemah. Harus diperlakukan dengan lembut, nanti dianggap manja. Diagungkan kecantikannya, akhirnya muncul standar kecantikan yang dikompetisikan. Jadi perempuan itu (katanya) harus serba bisa. Bisa sekolah tinggi dan cari uang sendiri akan dianggap pandai. Namun, kerjaan rumah harus tetap selesai, mengurus anak tak boleh lalai, dan menyenangkan suami di ranjang harus piawai. Sayangnya, jadi perempuan itu punya banyak risiko: jadi korban marginalisasi dan subordinasi, jadi objek seksualitas, suaranya kurang didengar, didiskriminasi, dibatasi ruang geraknya, dan resiko lain yang mewarnai hidupnya. Perempuan dituntut untuk manut . Dilarang membangkang, apalagi memberontak. Kebebasan seakan