Jadi perempuan itu bagaikan dua sisi koin. Di satu sisi, perempuan itu punya privilese untuk dijaga, dilindungi, diperlakukan dengan lembut, dan diagungkan kecantikannya. Namun, di sisi lain, privilese itu bisa saja jadi lingkaran setan bagi mereka. Harus dijaga dan dilindungi, nanti dianggap lemah. Harus diperlakukan dengan lembut, nanti dianggap manja. Diagungkan kecantikannya, akhirnya muncul standar kecantikan yang dikompetisikan.
Jadi perempuan itu (katanya) harus serba bisa. Bisa sekolah tinggi dan cari uang sendiri akan dianggap pandai. Namun, kerjaan rumah harus tetap selesai, mengurus anak tak boleh lalai, dan menyenangkan suami di ranjang harus piawai.
Sayangnya, jadi perempuan itu punya banyak risiko: jadi korban marginalisasi dan subordinasi, jadi objek seksualitas, suaranya kurang didengar, didiskriminasi, dibatasi ruang geraknya, dan resiko lain yang mewarnai hidupnya. Perempuan dituntut untuk manut. Dilarang membangkang, apalagi memberontak. Kebebasan seakan menjadi hal tabu untuk dimiliki oleh perempuan.
Perempuan seharusnya bisa sejajar dengan laki-laki. Perempuan mampu diajak bekerja sama, bernegosiasi, hingga berorganisasi. Karena perempuan tidak hanya sekadar ingin dimengerti, tetapi juga ingin diajak berdiskusi dan dihargai.
Selamat Hari Perempuan Internasional, untuk semua perempuan di dunia. Kalian cantik tanpa harus mengikuti standar kecantikan. Kalian kuat tanpa harus berotot. Kalian pantas untuk bahagia atas diri kalian sendiri, tanpa harus melibatkan laki-laki.
Jika kalian merasa dunia tak adil, jangan bungkam, lawan!
Komentar
Posting Komentar