Hai, semuanya! Selamat segala waktu.
Pada malam Minggu yang sendu kelabu ini, gue ingin membagikan ulasan gue tentang satu film yang baru rilis 27 Februari lalu. Yap, Teman Tapi Menikah 2. Gue nontonnya kemarin dan aslinya gue bingung mau mengulas dari segi mana karena menurut gue film ini genrenya semacam slice of life gitu. Namun, ada satu hal yang bisa gue pelajari dari film berdurasi 1 jam 46 menit ini. Penasaran? Yuk, baca sampai selesai, ya.
Film Teman Tapi Menikah 2 ini merupakan kelanjutan dari film sebelumnya yang rilis pada Maret 2018. Namun, ada yang berbeda dari film ini. Pada film pertama, tokoh Ayu diperankan oleh Vanesha Prescilla. Sementara pada film kedua ini, posisi Vanesha digantikan oleh Mawar Eva. Pemeran Ditto tetep sama, yaitu Adipati Dolken.
Menurut gue, pergantian pemeran Ayu tersebut nggak mempengaruhi jalan cerita. Bahkan, akting Mawar sebagai ibu-ibu muda yang baru pertama kali hamil bisa dibilang cukup bagus. Gue nggak bisa bayangin aja kalau itu Vanesha, sebab gimana yaa... ke-girly-an Vanesha tuh melekat gitu, jadi kalau dia jadi ibu-ibu gitu gue rasa kurang cocok. No offense ya, itu menurut gue. Menurut kalian gimana, terserah kalian.
Balik lagi ke filmnya. Kalau film pertama berbicara mengenai awal mula hubungan Ayu dan Ditto sebagai sepasang sahabat, di film kedua ini kita disuguhkan kisah mereka ketika menjadi sepasang suami istri. Cerita dimulai dengan ketika mereka melakukan malam pertama. Dua bulan kemudian, Ayu menyadari bahwa dirinya hamil dan ia mengalami baby blues. Ia belum bisa menerima bahwa ia hamil karena ia masih memiliki keinginan yang ingin ia lakukan bersama Ditto sebagai pengantin baru. Konflik ala suami istri pun mulai mewarnai hidup mereka. Ayu jadi manja dan mudah marah ketika hamil, sedangkan Ditto beranggapan bahwa semua yang dirasakan Ayu itu berlebihan. Ditto sebenarnya juga masih belum bisa menerima seutuhnya bahwa istrinya sedang hamil. Namun, berkat saran seorang dokter kandungan di Bali, mereka akhirnya bisa menerima keadaan dan lebih memperhatikan janinnya.
Bisa dibilang, alur penceritaan dari film ini sangat sederhana, sehingga mudah dinikmati oleh penonton. Selain itu, karena ceritanya berdasarkan kisah nyata, mungkin aja ada yang merasakan hal yang sama seperti Ayu dan Ditto. Jadi, penonton--terutama yang baru menikah--mungkin bisa related sama ceritanya.
Gue nggak tau ya apakah emang secanggung itu kalau menikahi teman sendiri (karena pas malam pertama mereka canggung banget buat "memulai"). Namun, menurut gue, karena mereka sudah bersahabat selama 13 tahun, mereka bisa dengan mudah menyelesaikan masalah yang ada, walaupun masalahnya mungkin lebih berat daripada sekadar masalah dalam pertemanan. Mereka bisa saling mendukung, entah sebagai teman atau sebagai suami istri. Seru kali ya kalau punya suami atau istri kayak gitu, hehe.
Satu hal penting yang gue dapat dari film ini adalah jadi pasangan yang suportif itu penting pake banget! Nggak cuma suportif, kita juga harus sabar dan bisa ngertiin satu sama lain. Menurut gue, nggak mudah untuk jadi sosok yang kayak gitu. Menyatukan dua ego itu nggak semudah menyatukan gelas pecah dengan lem. Gelas pecah aja kalau dilem terlihat nggak sempurna, gimana dengan ego yang disatuin?
Gue sendiri masih belum bisa berada di posisi itu. Gue bisa sabar dan ngertiin doi, tapi belum tentu cara yang gue lakuin itu suportif dan bisa diterima sama pasangan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengerti love language dari pasangan. Apa itu love language? Kalian bisa cari di Google, di sana banyak banget penjelasan tentang love language *etapi seru kali ya kalau gue bahas love language di blog ini.
Sebenarnya, gue nulis ini dalam keadaan mak deg mak tratap, lagi galau-galau lucu gitu hehe. Jadi daripada ujungnya nanti gue curhat, gue sudahin tulisan ini, ya. Last but not least, gue kasih 7/10 buat film ini. Karena pemeran Ayu-nya beda, menurut gue kalian nggak harus nonton yang pertama. Nonton yang kedua aja udah cukup buat memahami cerita dari Ayu dan Ditto.
Oke, cukup sekian tulisan gue hari ini. Gue mau lanjut melamun dan cryin' with myself:') Sampai jumpa pada tulisan berikutnya dan selamat segala waktu.
Pada malam Minggu yang sendu kelabu ini, gue ingin membagikan ulasan gue tentang satu film yang baru rilis 27 Februari lalu. Yap, Teman Tapi Menikah 2. Gue nontonnya kemarin dan aslinya gue bingung mau mengulas dari segi mana karena menurut gue film ini genrenya semacam slice of life gitu. Namun, ada satu hal yang bisa gue pelajari dari film berdurasi 1 jam 46 menit ini. Penasaran? Yuk, baca sampai selesai, ya.
Sumber: Instagram @falconpictures_ |
Menurut gue, pergantian pemeran Ayu tersebut nggak mempengaruhi jalan cerita. Bahkan, akting Mawar sebagai ibu-ibu muda yang baru pertama kali hamil bisa dibilang cukup bagus. Gue nggak bisa bayangin aja kalau itu Vanesha, sebab gimana yaa... ke-girly-an Vanesha tuh melekat gitu, jadi kalau dia jadi ibu-ibu gitu gue rasa kurang cocok. No offense ya, itu menurut gue. Menurut kalian gimana, terserah kalian.
Balik lagi ke filmnya. Kalau film pertama berbicara mengenai awal mula hubungan Ayu dan Ditto sebagai sepasang sahabat, di film kedua ini kita disuguhkan kisah mereka ketika menjadi sepasang suami istri. Cerita dimulai dengan ketika mereka melakukan malam pertama. Dua bulan kemudian, Ayu menyadari bahwa dirinya hamil dan ia mengalami baby blues. Ia belum bisa menerima bahwa ia hamil karena ia masih memiliki keinginan yang ingin ia lakukan bersama Ditto sebagai pengantin baru. Konflik ala suami istri pun mulai mewarnai hidup mereka. Ayu jadi manja dan mudah marah ketika hamil, sedangkan Ditto beranggapan bahwa semua yang dirasakan Ayu itu berlebihan. Ditto sebenarnya juga masih belum bisa menerima seutuhnya bahwa istrinya sedang hamil. Namun, berkat saran seorang dokter kandungan di Bali, mereka akhirnya bisa menerima keadaan dan lebih memperhatikan janinnya.
Bisa dibilang, alur penceritaan dari film ini sangat sederhana, sehingga mudah dinikmati oleh penonton. Selain itu, karena ceritanya berdasarkan kisah nyata, mungkin aja ada yang merasakan hal yang sama seperti Ayu dan Ditto. Jadi, penonton--terutama yang baru menikah--mungkin bisa related sama ceritanya.
Gue nggak tau ya apakah emang secanggung itu kalau menikahi teman sendiri (karena pas malam pertama mereka canggung banget buat "memulai"). Namun, menurut gue, karena mereka sudah bersahabat selama 13 tahun, mereka bisa dengan mudah menyelesaikan masalah yang ada, walaupun masalahnya mungkin lebih berat daripada sekadar masalah dalam pertemanan. Mereka bisa saling mendukung, entah sebagai teman atau sebagai suami istri. Seru kali ya kalau punya suami atau istri kayak gitu, hehe.
Satu hal penting yang gue dapat dari film ini adalah jadi pasangan yang suportif itu penting pake banget! Nggak cuma suportif, kita juga harus sabar dan bisa ngertiin satu sama lain. Menurut gue, nggak mudah untuk jadi sosok yang kayak gitu. Menyatukan dua ego itu nggak semudah menyatukan gelas pecah dengan lem. Gelas pecah aja kalau dilem terlihat nggak sempurna, gimana dengan ego yang disatuin?
Gue sendiri masih belum bisa berada di posisi itu. Gue bisa sabar dan ngertiin doi, tapi belum tentu cara yang gue lakuin itu suportif dan bisa diterima sama pasangan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengerti love language dari pasangan. Apa itu love language? Kalian bisa cari di Google, di sana banyak banget penjelasan tentang love language *etapi seru kali ya kalau gue bahas love language di blog ini.
Sebenarnya, gue nulis ini dalam keadaan mak deg mak tratap, lagi galau-galau lucu gitu hehe. Jadi daripada ujungnya nanti gue curhat, gue sudahin tulisan ini, ya. Last but not least, gue kasih 7/10 buat film ini. Karena pemeran Ayu-nya beda, menurut gue kalian nggak harus nonton yang pertama. Nonton yang kedua aja udah cukup buat memahami cerita dari Ayu dan Ditto.
Oke, cukup sekian tulisan gue hari ini. Gue mau lanjut melamun dan cryin' with myself:') Sampai jumpa pada tulisan berikutnya dan selamat segala waktu.
Komentar
Posting Komentar