Langsung ke konten utama

Milea, Suara dari Dilan: Penutup Trilogi, Sampaikan Pesan Tersembunyi

Hai semuanya, selamat segala waktu.

Kalian ada yang ngikutin Dilan, nggak? Baik novel maupun filmnya? Entah iya atau tidak, tapi kalian pasti tau dong kalau film terakhir dari trilogi Dilan sedang tayang. Gue sebagai pengikut Dilan dari awal sangat antusias banget sama film ini, walaupun gue udah punya bayangan filmnya bakal kayak gimana sih, soalnya gue udah baca novelnya juga. Jadi, oke, selamat datang di resensi film Milea: Suara dari Dilan versi Aniesa Pramitha!!

Seperti yang sudah dipromosikan oleh semua cast Milea: Suara dari Dilan di kebanyakan akun Youtube, film ini memang menceritakan kisah Dilan dan Milea dari sudut pandang Dilan. Yaa, semacam jadi jawaban atas semua yang dilakukan Dilan di film Dilan 1990 dan Dilan 1991. Mulai dari awal mula Dilan naksir Milea, usahanya dalam mendekati Milea, apa yang dia rasain selama pacaran sama Milea, termasuk perasaan dia ketika putus dan mencoba move on dari Milea. Uraian tadi emang agak sedikit spoiler sih hehe. Namun, buat kalian yang udah baca novelnya, mungkin nggak masalah kalau gue ceritain.

          sumber: Instagram @_maxpictures

Menurut gue, dari segi penceritaan, banyak banget adegan di film ini yang merupakan potongan dari Dilan 1990 dan Dilan 1991. Adegan baru yang murni buat film Milea: Suara dari Dilan baru muncul di pertengahan film. Jadi, kayaknya kalau kalian nggak nonton film yang sebelumnya, mungkin bakal nggak nyantol. Toh emang film ini jadi semacam konklusi dari kisah Dilan dan Milea. Ibarat baca buku, kalau kalian baca bagian kesimpulannya doang, kalian nggak bakal ngerti isi intinya apa.

Pendalaman karakter Dilan yang dilakukan Iqbaal Ramadhan juga cukup bagus menurut gue. Dilan itu punya karakter yang berkontradiksi. Di luar dia kuat, keliatan baik-baik aja, padahal dalemnya rapuh. Dia tetap memikirkan Milea, bahkan ketika Milea sudah mencampakkan dan meninggalkannya ketika dia lagi butuh sosok untuk bernaung. Di film ini juga, kita dikasih tau bahwa sang Panglima Tempur itu juga bisa nangis! Nggak usah gue tau itu adegan apa, nonton aja kalau kepo :p

Film ini mengajarkan beberapa hal yang sering dianggap remeh, padahal aslinya penting banget, apalagi dalam suatu hubungan romantis. Komunikasi itu penting. Banget! Dilan dan Milea nggak bakal putus kalau mereka saling mengkomunikasikan perasannya masing-masing dan nggak saling membuat asumsi sendiri. Selain itu, Milea juga terlalu gengsi buat ngomong ke Dilan. Dia terlalu berharap Dilan bisa tau tanpa dikasih tau. Jadinya ya gitu, miskomunikasi deh.

Selanjutnya, jangan posesif. Milea ini, iya emang dia sayang banget sama Dilan, tapi cara dia untuk mengekspresikan perasaannya itu terlalu mengekang Dilan. Dilan sebenarnya masih cukup sabar buat bertahan, tapi Milea keras kepala banget. Semua yang dia pengen harus diturutin sama Dilan. Kalau nggak dilakuin, ancamannya putus. Ancaman putus ini kalau beneran terjadi bakal bikin kalian menyesal. Kecuali kalau kalian emang merencanakan untuk putus dan cari alasan untuk putus ya, hehe.

Ini yang terakhir (dan gue nggak janji bisa ngelakuin ini), baikan sama mantan itu nggak ada salahnya. Oke, di film ini konteksnya emang Dilan dan Milea putus dalam keadaan mereka sebenernya masih saling sayang. Makanya, mereka tetep baikan dan saling merindukan masa lalu. Kalau gue sih, boro-boro mengenang masa lalu, baikan aja rasanya berat banget. Tapi gue nggak memusuhi dia kok, jangan salah sangka ya kalian:)

Secara keseluruhan, gue mau kasih 7/10 buat Milea: Suara dari Dilan. Gue kasih segitu aja karena menurut gue, bumbu-bumbu sinematografisnya kurang. Selain itu, yang gue sayangkan adalah banyak cerita di novelnya yang nggak diceritakan di film. Padahal, menurut gue, itu bisa jadi bumbu-bumbu drama dan konfliknya. Tapi emang kayaknya trilogi film Dilan ini konsisten membahas hubungan Dilan dan Milea aja deh.

Oh iya, untuk film Dilan 1990 dan Dilan 1991 gue nggak nulis resensinya di blog ini karena waktu itu gue nontonnya udah akhir-akhir. Jadi ya, maaf ya kalau tiba-tiba langsung bikin resensi film terakhirnya.

Baiklah, cukup sekian tulisan hari ini. Semoga ada manfaat yang bisa kalian ambil dari tulisan ini, terutama pesan dari film Milea: Suara dari Dilan itu sendiri. Terima kasih sudah mampir dan selamat segala waktu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Tiga Kali Gagal Nonton Show Cerita Cintaku Raditya Dika, Akhirnya...

Hai, semuanya! Selamat segala waktu. Kalian tahu special show -nya Bang Raditya Dika yang tajuknya Cerita Cintaku, nggak? Itu, tuh, yang sering jadi trending di Youtube. Videonya sih cuma tentang Bang Dika pas baca dan roasting cerita cintanya penonton sih, karena emang Bang Dika kayaknya nggak mau menggunggah show -nya secara lengkap. Jadi, bisa dibilang kalau stand up comedy -nya Bang Dika tahun ini tuh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun Bang Dika biasanya selalu menggunggah SUCRD di Youtube, tapi tahun ini tour special show -nya itu videonya dijual di website Cerita Cintaku. Kalian cek aja sendiri deh, kalau gue sertain hyperlink -nya di sini ntar disangkain ngendorse, heuheu . Gue sebagai.. ya, bisa dikatakan penggemarnya Bang Dika, pastinya merasa antusias dengan show ini dong. Apalagi, menurut gue harga tiketnya bisa dibilang terjangkau untuk ukuran komika level Raditya Dika. Namun, keantusiasan gue ini juga diiringi dengan rasa males dan gampang lupanya gue b

Catatan Aksi 24 September 2019

Halo, semuanya! Selamat segala waktu. Dua hari yang lalu, tepatnya 23 September 2019, beberapa daerah di Indonesia mengadakan aksi mahasiswa, ada Jogja dengan #GejayanMemanggil, ada Solo dengan #BengawanMelawan, ada Surabaya dengan #SurabayaMenggugat, dan lain-lain. Aksi-aksi tersebut dilakukan dalam rangka menggugat agar diadakannya revisi UU KPK dan menolak RKUHP. Para demonstran didominasi oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Sebelumnya, minggu lalu, tepatnya Selasa, 17 September, telah diadakan aksi serupa. Namun, aksi tersebut fokus pada penolakan RUU KPK dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Aksi tersebut dinamai dengan aksi Reformasi Dikorupsi dan diadakan di depan Gedung DPR/MPR. Kemarin. Selasa, 24 September, telah berlangsung aksi besar-besaran yang diikuti oleh seluruh mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya. Terdapat puluhan kampus yang bergabung dalam aksi Tuntaskan Reformasi tersebut. Bisa dibilang, aksi ini lebih besar dari aksi sebelumnya karena bertepat

IWD 2020 #EachForEqual: Karena Wanita Tak Hanya Sekadar Ingin Dimengerti

Jadi perempuan itu bagaikan dua sisi koin. Di satu sisi, perempuan itu punya privilese untuk dijaga, dilindungi, diperlakukan dengan lembut, dan diagungkan kecantikannya. Namun, di sisi lain, privilese itu bisa saja jadi lingkaran setan bagi mereka. Harus dijaga dan dilindungi, nanti dianggap lemah. Harus diperlakukan dengan lembut, nanti dianggap manja. Diagungkan kecantikannya, akhirnya muncul standar kecantikan yang dikompetisikan. Jadi perempuan itu (katanya) harus serba bisa. Bisa sekolah tinggi dan cari uang sendiri akan dianggap pandai. Namun, kerjaan rumah harus tetap selesai, mengurus anak tak boleh lalai, dan menyenangkan suami di ranjang harus piawai. Sayangnya, jadi perempuan itu punya banyak risiko: jadi korban marginalisasi dan subordinasi, jadi objek seksualitas, suaranya kurang didengar, didiskriminasi, dibatasi ruang geraknya, dan resiko lain yang mewarnai hidupnya. Perempuan dituntut untuk manut . Dilarang membangkang, apalagi memberontak. Kebebasan seakan