Aku rindu.
Kala sore duduk di taman bersamamu. Angin lembut membelai pipiku, menggoyangkan rambutmu. Ia seakan ingin bergabung dalam obrolan seru kita. Tak ingin ketinggalan barang hanya satu kata.
Obrolan itu tak pernah terencana. Lahir dan mengalir begitu saja. Kadang-kadang dimulai dari suatu pernyataan "seandainya". Mata kita menerawang jauh. Menembus batas-batas dimensi. Mengimajinasikan apa yang pantas diandaikan. Sesekali kita tertawa, sadar bahwa semua hanya ilusi belaka.
Pernah juga suatu kali, obrolan kita terlalu dalam, hingga membuat salah satu di antara kita menangis. Tentang bagaimana hubungan kita nanti, tentang masa depan yang tak jelas, tentang semua yang abu-abu—topiknya tak jauh dari semua itu. Pernah juga tentang beban yang kita tanggung masing-masing: tanggung jawab di keluarga, beban moral yang entah asalnya dari mana, hingga kondisi mental kita.
Tak jarang pula kita saling melempar opini. Baik aku maupun kamu tak ingin kalah. Kita beradu pendapat, kadang disertai emosi. Hingga akhirnya kita perlu diam beberapa saat untuk meredamnya. Angin pun tak berani mengganggu kebungkaman kita.
***
Aku rindu.
Aku suka ketika berdialog denganmu. Matamu tak pernah menunjukkan keraguan. Mulutmu selalu yakin dengan apa yang kau ucapkan. Pernahkah kau sadar bahwa aku selalu tersenyum melihatnya? Ah, kurasa tidak. Kau selalu asik tenggelam dalam untaian kata-katamu itu. Tak masalah bagiku, aku senang melihatmu senangnya.
Aku suka caramu membuatku tertawa. Kadang aku lepas kendali hingga tawaku terlalu keras. Kau selalu menegurku, tapi aku tetap tak bisa menahan tawa karena kekonyolanmu.
Aku juga suka tawamu. Suka sekali. Senyum dan tawamu adalah candu bagiku. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang begitu keadaannya. Aku ingin melihatmu selalu bahagia.
Hal yang kubenci adalah ketika melihatmu sedih atau bungkam menahan emosi. Kau tahu, kata-kataku tak pernah cukup untuk menghibur atau sekadar menenangkanmu. Aku selalu gagal, maka aku memilih diam. Bukan karena tak peduli, aku hanya tak ingin melukai.
***
Aku rindu.
Di akhir obrolan, kau selalu memegang tanganku, menatapku begitu dalam, lalu berbisik, "Terima kasih." Kau tahu, harusnya aku yang berterima kasih. Kehadiranmu membuat semuanya terasa berbeda. Hanya saja, aku tak kuasa mengatakannya.
Semua harus diselesaikan ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Kita harus segera beranjak karena angin semakin dingin. Kau menggandeng tanganku dan tersenyum usil, membuatku geli dan memukul pelan lenganmu. Tanganmu kugenggam semakin erat seakan tak ingin kau pergi.
Angin malam mulai bertiup. Motormu melaju pelan agar aku tak kedinginan. Sementara aku di belakangmu memeluk dan menyandarkan kepala di bahumu. Ah, aku dapat mencium aromamu di sana. Nyaman sekali rasanya.
***
Aku rindu perjumpaan itu: hadirmu, senyummu, tawamu, sedihmu, tangismu, marahmu, debatmu, candamu, hiburmu, genggammu, pelukmu, apa lagi? Bisakah kau bantu menyebutkannya? Aku rindu semuanya.
—teruntuk lelaki yang selama tiga puluh purnama telah menemani, terima kasih.
Komentar
Posting Komentar