Langsung ke konten utama

Dear Nathan Hello Salma: Mental Illness dalam Kehidupan Remaja

Halooo. Selamat segala waktu!

Setelah sekian lama nggak nulis tentang film karena kurang bahan dan gue rasa nggak ada yang perlu gue tulis, akhirnya gue dapet bahan dan nulis lagi. Kali ini yang bakal gue bahas adalah film yang masih anget nih, yaitu Dear Nathan Hello Salma. Di Ruang Film kali ini, gue mau nulis tentang sudut pandang masalah yang gue dapet dari film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini. Penasaran? Baca aja sampai selesai, ya!

Dear Nathan Hello Salma ini merupakan film sekuel dari film Dear Nathan. Film ini menceritakan tentang hubungan Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) yang penuh dengan konflik dan terancam berakhir. Kehadiran tokoh baru seperti Rebecca (Susan Sameh), Papa Salma (Gito Gilas), dan Ridho (Devano Danendra) membuat konflik mereka penuh drama. Gue nggak mau menceritakan sinopsis karena itu udah terlalu mainstream. Yang mau gue bahas adalah salah satu sudut pandang yang menarik dari film ini, yaitu mental illness.

Kalian pasti nggak asing sama istilah mental illness? Gue nggak tau kenapa, tapi akhir-akhir ini istilah itu emang lagi booming, seakan-akan banyak yang (merasa) mengalami hal tersebut. Mungkin karena dinamika kehidupan masa kini rentan menyebabkan kesehatan mental terganggu kali, ya? Selain itu, kebanyakan yang mengalami gangguan kesehatan mental ini adalah remaja berusia 17-22 tahun. Jadi nggak jarang remaja di usia segitu mengalami depresi dan akhirnya terjadilah kenakalan remaja.

Mental illness dalam kehidupan remaja disajikan dalam film Dear Nathan Hello Salma ini. Gue (walaupun nggak mengalami secara langsung) bisa related sama masalah-masalah yang dialami oleh tokoh. Seperti masalah yang dialami Rebecca. Dia adalah teman Nathan di sekolah barunya. Rebecca mengalami depresi karena broken home dan mendapat perlakuan bullying dari teman-temannya. Ia sampai minum minuman keras dan hampir bunuh diri. Namun, Nathan berusaha menolongnya dengan mendampingi Rebecca sampai Rebecca bisa berdamai dengan masalahnya.

Nggak cuma dari tokoh sampingan, mental illness juga dialami oleh tokoh utama, yaitu Salma. Masalah Salma ini merupakan masalah umum yang dialami oleh remaja. Tidak diterima di SNMPTN, dipaksa mengikuti keinginan orang tua masuk ke jurusan tertentu, dan mendapat perlakuan overprotektif merupakan hal yang lumrah dialami remaja. Akan tetapi, yang dialami Salma ini datang bertubi-tubi. Masalah satu belum selesai, udah timbul masalah lain. Tidak adanya Nathan di sisi Salma membuat hidup Salma makin terpuruk.

Dalam film ini, Nathan berperan sebagai tokoh yang berusaha mengubah kehidupan Rebecca dan Salma menjadi normal kembali. Keputusan Nathan terhadap Rebecca membuat Rebecca sadar bahwa hidup harus tetap berjalan. Sementara itu, keputusan Nathan terkait hubungannya dengan Salma adalah opsi terakhir agar hidup Salma dapat kembali normal. Opsi ini berat untuk mereka berdua, tapi Nathan rela melakukannya demi Salma. Opsi apakah itu? Tonton aja sendiri hehe..

Jadi, menurut gue, dari sisi masalah yang diangkat, film ini cukup menarik untuk ditonton. Jujur, gue nggak terlalu perhatian sama hubungan Nathan dan Salma. Gue lebih tertarik sama alur yang penuh dengan konflik dan tokoh yang hidupnya penuh tekanan. Sebelum sampai ke klimaks, gawatan-gawatan sepanjang alur ini cukup banyak dan setiap gawatan mempunyai penyelesaiannya masing-masing. Kalian bisa nonton film ini walaupun belum nonton yang pertama, karena emang dari segi masalah film pertama dan kedua itu nggak ada sangkut pautnya.

Satu lagi yang gue dapet dari film ini adalah orang yang mengalami gangguan kesehatan mental--sebut aja mood swing, demotivasi, stres, hingga depresi--itu cuma butuh satu : seseorang yang mau mendengarkan. Biarkan mereka nangis, dengerin aja apa yang mereka keluhkan. Kalau kalian nggak punya solusi, setidaknya jangan memberi nasehat yang terkesan menyalahkan mereka, seperti "Elu sih, udah gue bilangin jangan ikut ini, jangan gitu, jangan blablabla." Itu malah bikin mereka semakin tertekan dan menyalahkan diri sendiri. Cukup dengarkan dan tenangkan mereka. Rangkulan dan tepukan halus di bahu udah cukup bikin mereka nyaman kok.

Oke, cukup sekian tulisan gue hari ini. Agak bias juga sih, ini resensi atau opini wkwk. Tapi nggak papa, gue mau kasih 7,5/10 buat film Dear Nathan Hello Salma. Jangan lupa nonton juga yaaa.

Sampai jumpa di ruang selanjutnya. Selamat hari Minggu!

*sumber gambar: Google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Tiga Kali Gagal Nonton Show Cerita Cintaku Raditya Dika, Akhirnya...

Hai, semuanya! Selamat segala waktu. Kalian tahu special show -nya Bang Raditya Dika yang tajuknya Cerita Cintaku, nggak? Itu, tuh, yang sering jadi trending di Youtube. Videonya sih cuma tentang Bang Dika pas baca dan roasting cerita cintanya penonton sih, karena emang Bang Dika kayaknya nggak mau menggunggah show -nya secara lengkap. Jadi, bisa dibilang kalau stand up comedy -nya Bang Dika tahun ini tuh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun Bang Dika biasanya selalu menggunggah SUCRD di Youtube, tapi tahun ini tour special show -nya itu videonya dijual di website Cerita Cintaku. Kalian cek aja sendiri deh, kalau gue sertain hyperlink -nya di sini ntar disangkain ngendorse, heuheu . Gue sebagai.. ya, bisa dikatakan penggemarnya Bang Dika, pastinya merasa antusias dengan show ini dong. Apalagi, menurut gue harga tiketnya bisa dibilang terjangkau untuk ukuran komika level Raditya Dika. Namun, keantusiasan gue ini juga diiringi dengan rasa males dan gampang lupanya gue b

Catatan Aksi 24 September 2019

Halo, semuanya! Selamat segala waktu. Dua hari yang lalu, tepatnya 23 September 2019, beberapa daerah di Indonesia mengadakan aksi mahasiswa, ada Jogja dengan #GejayanMemanggil, ada Solo dengan #BengawanMelawan, ada Surabaya dengan #SurabayaMenggugat, dan lain-lain. Aksi-aksi tersebut dilakukan dalam rangka menggugat agar diadakannya revisi UU KPK dan menolak RKUHP. Para demonstran didominasi oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Sebelumnya, minggu lalu, tepatnya Selasa, 17 September, telah diadakan aksi serupa. Namun, aksi tersebut fokus pada penolakan RUU KPK dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Aksi tersebut dinamai dengan aksi Reformasi Dikorupsi dan diadakan di depan Gedung DPR/MPR. Kemarin. Selasa, 24 September, telah berlangsung aksi besar-besaran yang diikuti oleh seluruh mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya. Terdapat puluhan kampus yang bergabung dalam aksi Tuntaskan Reformasi tersebut. Bisa dibilang, aksi ini lebih besar dari aksi sebelumnya karena bertepat

IWD 2020 #EachForEqual: Karena Wanita Tak Hanya Sekadar Ingin Dimengerti

Jadi perempuan itu bagaikan dua sisi koin. Di satu sisi, perempuan itu punya privilese untuk dijaga, dilindungi, diperlakukan dengan lembut, dan diagungkan kecantikannya. Namun, di sisi lain, privilese itu bisa saja jadi lingkaran setan bagi mereka. Harus dijaga dan dilindungi, nanti dianggap lemah. Harus diperlakukan dengan lembut, nanti dianggap manja. Diagungkan kecantikannya, akhirnya muncul standar kecantikan yang dikompetisikan. Jadi perempuan itu (katanya) harus serba bisa. Bisa sekolah tinggi dan cari uang sendiri akan dianggap pandai. Namun, kerjaan rumah harus tetap selesai, mengurus anak tak boleh lalai, dan menyenangkan suami di ranjang harus piawai. Sayangnya, jadi perempuan itu punya banyak risiko: jadi korban marginalisasi dan subordinasi, jadi objek seksualitas, suaranya kurang didengar, didiskriminasi, dibatasi ruang geraknya, dan resiko lain yang mewarnai hidupnya. Perempuan dituntut untuk manut . Dilarang membangkang, apalagi memberontak. Kebebasan seakan