Langsung ke konten utama

Ekspresimu Tanggung Jawabmu

Halo, semuanya! Selamat segala waktu.

Seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keberagaman. Mulai dari keberagaman suku, ras, agama, sampai dialek dapat kita temukan di tengah masyarakat. Begitu pun dengan keberagaman latar belakang sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik. Namun, ada satu keberagaman yang jarang disadari oleh masyarakat, yakni keberagaman ide dan pola pikir.

Jumlah penduduk Indonesia berjumlah 264 juta jiwa (Bank Dunia, 2017). Dengan jumlah sebesar itu, tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat Indonesia memiliki ide dan pola pikir yang beragam sesuai dengan latar belakang mereka. Mereka juga memiliki cara masing-masing untuk mengungkapkan ide tersebut. Cara-cara tersebut berkaitan dengan kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pendapat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya). Jadi, kebebasan berekspresi adalah kebebasan untuk mengungkapkan atau menyatakan sesuatu. Kebebasan ini merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Dengan adanya peraturan tersebut, kita dapat menggunakan hak kita untuk berpendapat, baik di dunia nyata maupun dunia maya, lisan maupun tulisan. Namun, sering kali orang-orang beranggapan bahwa kebebasan itu perlu dibatasi karena akan membuat orang lain tersinggung atau terganggu. Contoh yang dapat kita lihat adalah seni grafiti atau mural. Seni melukis di tembok ini digunakan untuk menyampaikan aspirasi atau kritikan pada pemerintah atau kelompok tertentu. Akan tetapi, oleh sebagian orang, mural justru dianggap menggangu pemandangan.

Tidak jarang pula kebebasan berekspresi tidak diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Salah satunya yang paling sering adalah film. Ketika ada satu film yang ceritanya hampir mirip dengan film lain, orang-orang akan langsung menilai bahwa film tersebut mencontek atau plagiat. Padahal, jika mereka mau menelusuri lebih jauh, pasti ada alasan tertentu dari sutradara atau produser film kenapa film tersebut hampir sama dengan film lain. Masyarakat kita masih skeptis dengan hal-hal itu rupanya, hehe.

Sebenarnya, masyarakat Indonesia memiliki banyak ruang dan kesempatan untuk mengungkapkan ekspresinya. Di dunia nyata, misalnya. Sudah banyak ruang publik yang dibangun pemerintah daerah agar warganya dapat mengekspresikan idenya, seperti membuat mural, mengkampanyekan sesuatu, mengadakan pertunjukan seni, dan lain sebagainya. Masyarakat dapat memanfaatkan ruang publik tersebut secara cuma-cuma, tetapi harus tetap menjaga kebersihan dan ketertiban tentunya.

Jika di dunia nyata terasa kurang, kita dapat beralih ke dunia maya, dunia yang tidak ada batasnya. Di sana, kebebasan berekspresi jauh lebih terlihat ekspresif daripada di dunia nyata. Orang-orang dapat mengunggah foto, video, atau rekaman audio di media sosial mana pun. Selain itu, orang-orang juga dapat bebas memberi tanggapan dengan menulis komentar, membagikan posting-an tersebut, memberi like, bahkan memberi dislike.

Namun, kebebasan yang terlalu bebas di dunia maya tersebut sering kali disalahgunakan. Misalnya yang terdapat pada kolom komentar. Sering kali kita melihat orang-orang memberikan komentar pedas pada suatu posting-an di media sosial. Bahkan, komentar mereka tersebut menjurus pada tindak perundungan. Hanya karena si empunya posting-an dan si pemberi komentar tidak memiliki ide atau pola pikir yang sama, keributan dapat terjadi di media sosial.

Setiap orang memang memiliki hak untuk berekspresi. Namun, mereka juga harus mengerti bahwa di balik kebebasan tersebut, terdapat kewajiban yang besar dalam memegang tanggung jawab. Sebut saja tanggung jawab menghargai orang lain, mengapresiasi suatu karya, dan menerima ide atau pola pikir yang berbeda. Dengan memupuk kesadaran tersebut, masyarakat akan lebih merasa aman dalam berekspresi melalui media apapun.

Sekian tulisan ini. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya dan selamat segala waktu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Tiga Kali Gagal Nonton Show Cerita Cintaku Raditya Dika, Akhirnya...

Hai, semuanya! Selamat segala waktu. Kalian tahu special show -nya Bang Raditya Dika yang tajuknya Cerita Cintaku, nggak? Itu, tuh, yang sering jadi trending di Youtube. Videonya sih cuma tentang Bang Dika pas baca dan roasting cerita cintanya penonton sih, karena emang Bang Dika kayaknya nggak mau menggunggah show -nya secara lengkap. Jadi, bisa dibilang kalau stand up comedy -nya Bang Dika tahun ini tuh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun Bang Dika biasanya selalu menggunggah SUCRD di Youtube, tapi tahun ini tour special show -nya itu videonya dijual di website Cerita Cintaku. Kalian cek aja sendiri deh, kalau gue sertain hyperlink -nya di sini ntar disangkain ngendorse, heuheu . Gue sebagai.. ya, bisa dikatakan penggemarnya Bang Dika, pastinya merasa antusias dengan show ini dong. Apalagi, menurut gue harga tiketnya bisa dibilang terjangkau untuk ukuran komika level Raditya Dika. Namun, keantusiasan gue ini juga diiringi dengan rasa males dan gampang lupanya gue b

Catatan Aksi 24 September 2019

Halo, semuanya! Selamat segala waktu. Dua hari yang lalu, tepatnya 23 September 2019, beberapa daerah di Indonesia mengadakan aksi mahasiswa, ada Jogja dengan #GejayanMemanggil, ada Solo dengan #BengawanMelawan, ada Surabaya dengan #SurabayaMenggugat, dan lain-lain. Aksi-aksi tersebut dilakukan dalam rangka menggugat agar diadakannya revisi UU KPK dan menolak RKUHP. Para demonstran didominasi oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Sebelumnya, minggu lalu, tepatnya Selasa, 17 September, telah diadakan aksi serupa. Namun, aksi tersebut fokus pada penolakan RUU KPK dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Aksi tersebut dinamai dengan aksi Reformasi Dikorupsi dan diadakan di depan Gedung DPR/MPR. Kemarin. Selasa, 24 September, telah berlangsung aksi besar-besaran yang diikuti oleh seluruh mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya. Terdapat puluhan kampus yang bergabung dalam aksi Tuntaskan Reformasi tersebut. Bisa dibilang, aksi ini lebih besar dari aksi sebelumnya karena bertepat

IWD 2020 #EachForEqual: Karena Wanita Tak Hanya Sekadar Ingin Dimengerti

Jadi perempuan itu bagaikan dua sisi koin. Di satu sisi, perempuan itu punya privilese untuk dijaga, dilindungi, diperlakukan dengan lembut, dan diagungkan kecantikannya. Namun, di sisi lain, privilese itu bisa saja jadi lingkaran setan bagi mereka. Harus dijaga dan dilindungi, nanti dianggap lemah. Harus diperlakukan dengan lembut, nanti dianggap manja. Diagungkan kecantikannya, akhirnya muncul standar kecantikan yang dikompetisikan. Jadi perempuan itu (katanya) harus serba bisa. Bisa sekolah tinggi dan cari uang sendiri akan dianggap pandai. Namun, kerjaan rumah harus tetap selesai, mengurus anak tak boleh lalai, dan menyenangkan suami di ranjang harus piawai. Sayangnya, jadi perempuan itu punya banyak risiko: jadi korban marginalisasi dan subordinasi, jadi objek seksualitas, suaranya kurang didengar, didiskriminasi, dibatasi ruang geraknya, dan resiko lain yang mewarnai hidupnya. Perempuan dituntut untuk manut . Dilarang membangkang, apalagi memberontak. Kebebasan seakan