Halo, semuanya. Selamat segala
waktu!
Gimana kabarnya? Gimana
kehidupannya? Semoga kalian dan kehidupan kalian tetap baik-baik saja di tengah
masa-masa yang sedang tidak baik-baik saja ini, ya.
Enam bulan awal tahun 2020 ini
mungkin memang terasa berbeda bagi banyak orang di seluruh dunia. Gimana nggak,
kemunculan virus baru bernama Corona bener-bener mengganggu semua aspek
kehidupan. Nggak usah jauh-jauh kita bahas soal ekonomi atau sosial deh,
kehidupan pribadi kita aja bener-bener berubah abnormal: yang biasanya bisa
belajar di sekolah atau kampus, sekarang cuma bisa belajar di rumah; yang
biasanya kerja berangkat pagi pulang malem, sekarang cuma bisa ngerjain
semuanya dari rumah, bahkan nggak sedikit juga yang harus dihentikan paksa oleh
kantornya; yang biasanya bisa nongkrong sama temen-temennya, sekarang cuma bisa
bersua via daring; yang biasanya punya jadwal kencan, sekarang cuma bisa video
call-an. Dibilang kacau mungkin terlalu berlebihan, tapi keadaannya memang
nggak sebaik biasanya. Mau nggak mau, kita harus menerima keadaan itu demi
keamanan bersama.
Berita kematian dari awal tahun
sampai saat ini juga jadi makanan sehari-hari. Sudah ada jutaan nyawa yang
dimakan habis oleh Si Corona itu. Nggak cuma tentang itu, kabar kematian dari
para tokoh di dunia dan Indonesia juga turut menggemparkan kehidupan ini. Mulai
dari pebasket Kobe Bryant, sampai jajaran artis Indonesia seperti Ashraf
Sinclair, Glenn Fredly, dan Didi Kempot. Ketika berita itu muncul, orang-orang
cuma bisa “Hah, serius?” saking nggak percayanya dengan kematian orang-orang
yang dikagumi oleh banyak orang tersebut.
Semester awal 2020 ini emang
menyebalkan. Ada banyak rencana dan resolusi yang gagal terlaksana. Mau nggak
mau, kita harus beradaptasi dengan hal itu, salah satunya menyusun rencana
baru. Ngomongnya gampang ya, ngelakuinnya yang susah haha.
Gue sendiri ngerasa kalau semester
2020 ini kayak lagi main roller coaster, naik turun nggak karuan, bikin
mual pula. Waktu awal tahun ini, gue semangat banget menyusun rencana. Apalagi
tahun ini adalah tahun terakhir gue kuliah karena tahun depan (insya Allah) gue
udah wisuda, jadi gue mau puas-puasin seru-seruan di kampus, kayak ngambil matkul
yang gue pengen, ikut kepanitiaan yang belum sempet gue ikutin, dan ke konser
tahunan yang event-nya lumayan gede di kampus. Gue juga udah ngerencanain buat
magang atau cari kerja part time sendiri karena jurusan gue nggak
ada magang wajibnya. Namun, Corona membuyarkan itu semua. Gue cuma bisa di
rumah, ngadep laptop hampir setiap hari, dan berharap semua akan kembali normal
dengan segera (walaupun mustahil, gue tahu itu).
Sebenarnya, awal tahun kemarin gue
diterima di suatu lembaga tutor privat gitu. Gue juga udah dapet satu murid
yang untungnya dia bisa cepet beradaptasi sama gue. Sayangnya, semua itu nggak
berjalan dengan normal. Baru berapa kali mengajar, gue harus opname karena
tipes. Setelah sembuh dan balik ngajar lagi, gue terpaksa minta tutor pengganti
buat murid gue karena kampus gue mulai menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
pertengahan Maret lalu akibat Corona mulai muncul di Indonesia. Gue pun disuruh
pulang.
Saat itu, gue mikir ini nggak bakal
lama. Gue akan pulang dan setelah lebaran mungkin gue bisa balik ke Depok.
Namun, makin lama pandemi ini makin parah. Hal itu memaksa gue untuk lebih lama
tinggal di rumah. Kenyataanya, gue malah lebih sering stres di rumah. Gue yang sudah
membiasakan diri sendirian di kos/asrama jadi nggak nyaman ketika harus denger suara-suara
keras di rumah, entah itu suara musik yang kenceng, suara bentakan, dan lain-lain.
Saking nggak kuatnya, setelah lebaran gue memilih buat lebih banyak
menghabiskan waktu di dalam kamar. Gue pake earphone biar nggak denger
suara di luar. Seenggaknya, gue merasa aman dengan sendirian di dalam kamar.
Selain itu, kondisi kayak gini
memaksa gue untuk LDR. Iya, hubungan jarak jauh. Jujur aja, LDR kali ini
rasanya lebih berat. Gue yang biasanya ketemu hampir tiap hari sama doi, sekarang
udah tiga bulan lebih cuma bisa ngelihat wajahnya lewat video call. Gue
pun nggak bisa menjanjikan kapan gue bisa balik ke sana. Selain karena
keadaannya yang masih kayak gini, persyaratan buat naik transportasi umum jadi
lebih ribet. Harus rapid test lah, nyiapin surat segala macem lah, dan
segala tetek bengek-nya yang lain. Gue cuma bisa nunggu waktu yang tepat
aja kapan semua itu bisa longgar. Biasanya kan hal-hal kayak gitu nggak bisa
konsisten *eh.
Untungnya, gue udah satu bulanan ini
dapat kerjaan freelancer di web anakui.com. Kerjaan itu seenggaknya bisa
mendistraksi pikiran gue biar nggak kemana-mana. Gue juga jadi lebih rajin
maskeran dan ngerawat rambut. Terus, gue juga mulai membiasakan work out walaupun
cuma 30 menit. Intinya sih, gue cuma butuh hal-hal yang bisa mendistraksi
pikiran gue aja. Mau bagaimana pun, hidup harus tetep berjalan.
Walaupun sekarang katanya udah
memasuki era normal baru, tapi gue nggak mau grusa-grusu. Hal yang bisa gue
lakukan sekarang cuma wait and see, nunggu waktu yang tepat buat
menyusun hidup “normal baru” versi gue. Mungkin kalian juga gitu. Mungkin juga
kalian ada yang udah mulai nekat untuk kembali merantau karena keadaan di rumah udah
nggak memungkinkan. Apa pun itu, semoga kalian tetap sehat dan selamat. Selalu
siaga karena mencegah lebih baik daripada mengobati.
Sekian nyampah gue kali ini. Kalau
kalian baca sampai paragraf ini, gue cuma bisa bilang terima kasih dan semoga
kalian dalam keadaan baik-baik aja. Jaga diri kalian baik-baik, ya. Sampai jumpa
di ruang selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar