Minggu ke-46 tahun 2019.
Satu hal yang baru kuketahui ketika sedang beranjak dewasa adalah kewajiban untuk menerima masalah. Iya, hanya menerima. Baru kusadari ternyata masalah kadang hadir tanpa sebuah solusi. Kita hanya perlu mengikhlaskan dan melupakan masalah itu, setidaknya untuk membuat kita sedikit lega.
Ah, kata siapa? Lega memang. Namun, masalah itu tertimbun sedikit demi sedikit, dan duar.. tinggal menunggu waktu ia meledak dan merusak semuanya. Beberapa manusia memilih untuk mengabaikan masalah itu dengan melakukan hal yang secara tidak sadar merusak raganya. Katanya, rasa sakit itu tak sebanding dengan masalah yang menikam semangat hidupnya. Beberapa yang lain memilih untuk menyimpan masalah itu untuk dirinya sendiri, menangisinya tiap malam, hingga membuatnya terlelap dalam mimpi indah yang sayangnya hanya sekadar fatamorgana.
Mari kuceritakan tentang seseorang yang pandai menyimpan masalahnya untuk dirinya sendiri. Dia orang yang cukup kuat, sangat kuat mungkin bisa kubilang. Sayangnya, ia begitu naif.
Menginjak usia dua puluh tahun, berbagai masalah rutin berkunjung ke hidupnya. Ah, bodohnya dia, dia malah menyuguhkan segelas kopi hangat, teh hangat, es buah, kue-kue kecil, dan kudapan yang lain, yang membuat masalah-masalah itu nyaman bertandang ke hidupnya. Dia gemar sekali berteman dengan masalah-masalah itu.
Dia sering menangis sendiri ketika masalah-masalah itu pergi pada malam hari. Selepas berdoa, ia selalu menyesali hidupnya, merutuki nasibnya. Dia selalu mengeluh, kenapa hidupku begini? Dia selalu ingin lari, tapi tak bisa. Sisi lain dari dirinya selalu berkata, kamu nggak apa-apa, kok. Nggak ada yang perlu dipermasalahkan. Kita jalani sama-sama, oke?
Ah, persetan.
Pagi harinya, ia sapa lagi masalah-masalah itu dengan senyum manisnya. Kalau dia terlalu manis, mana ada orang yang menyadari bahwa ternyata ia berkawan baik dengan masalah? Orang-orang selalu berpikir ia baik-baik saja. Hidupnya selalu dianggap sempurna: perkuliahannya lancar, keluarganya tentram, temannya banyak, pacar yang baik, dan lain sebagainya. Kesempurnaan palsu itu menutupi kelam hidupnya.
Tak ada yang tahu sisi gelap hidupnya. Ia selalu gagal mendapat beasiswa. Buat apa nilai bagus kalau keberuntungan tidak mau berteman dengannya. Keluarganya pun sedang tidak baik-baik saja. Rupanya, masalah juga mampir ke rumahnya yang jauh di sana. Kehidupan pertemannya juga mulai menyempit. Satu-persatu manusia mengecewakannya. Tak ada lagi yang bisa ia percaya. Ia kesepian.
Satu lagi yang bersiap untuk mencabut nyawanya adalah kekasihnya. Rupanya, hubungannya mulai membosankan. Berkali-kali tambatan hatinya itu berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Berkali-kali pula ia menangis dan mengemis, memohon agar tidak ditinggalkan.
Tak ada yang tahu, lingkaran hitam di bawah matanya itu muncul bukan karena setiap malam ia belajar mati-matian untuk mendapat nilai baik. Tumpahan air mata yang menyebabkan itu semua. Ia selalu berusaha untuk menutupinya, tapi ada saja satu dua orang yang menyadari dan selalu bertanya, semalam kamu habis nangis? Ia tak pernah bosan menjawab dengan senyum dan berkata bahwa semua baik-baik saja.
Setelah berteman dengan masalah-masalah kecil, kini masalah besar mampir ke hidupnya. Kali ini dengan cara yang kurang ramah. Membuatnya mati rasa. Ia mencari pertolongan di sana-sini, berharap masalah ini pergi dari hidupnya. Lagi-lagi, sisi lain dari dirinya berbisik, ikhlasin aja, orang itu lebih butuh uangmu daripada kamu. Nanti kita usaha lagi, oke?
Ah, bodoh! Naif sekali orang ini!
Hingga suatu kejadian menamparnya begitu keras. Ia melihat adegan dalam film atau cerita dalam novel yang muncul di realita hidupnya. Manusia lain saling meminta bantuan atas masalah yang menerkam hidupnya. Ada yang rugi materi, ada pula yang harus rela kehilangan orang yang disayangi. Ujung dari itu semua, manusia-manusia itu selalu berkata, saya ikhlas.
Tamparan kedua adalah ketika seseorang berkata padanya, bukan soal masalah siapa yang paling berat, kerugian siapa yang paling banyak, masalah tetaplah masalah. Orang itu berkata begitu karena ia tak henti-hentinya membandingkan penderitaannya dengan penderitaan orang lain. Ia selalu merasa jadi orang yang paling sial, paling tidak beruntung. Namun, ketika ia menemukan manusia lain yang masalahnya lebih berat, ia merasa sedikit lega. Padahal, bukan begitu cara mainnya. Bersyukur karena masalahnya tidak terlalu berat boleh, tapi apakah boleh menyepelakan masalah orang lain?
Ia selalu percaya bahwa bercerita adalah obat untuk mengurangi rasa sakit. Akan tetapi, ia tidak dianugerahi kemampuan itu. Atas semua kejadian yang telah ia lalui, ia lupa rasanya bercerita langsung pada orang lain. Ia takut pada berbagai kemungkinan yang muncul ketika ia bercerita: ditertawakan, diejek, bahkan diabaikan dan ditinggalkan. Karena itulah, ia menulis. Ia bisa menumpahkan semuanya tanpa harus tahu respon manusia lain secara langsung. Dan semua yang kalian baca ini adalah tulisannya.
***
Teruntuk kalian yang hatinya dirundung kekecewaan, merasa tak ada yang bisa dipercaya, dan hidupnya ditemani problematika, menangislah. Menangislah sampai kalian tak bisa mendengar suara kalian, sampai wajah kalian jelek, sampai lingkaran mata kalian menghitam. Menangislah. Bukankah tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja?
Namun, jangan sekali-kali melukai diri kalian. Masalah suka berkunjung ke hidup orang yang memancing mereka untuk datang. Begini, jika memang tak ada manusia lain yang mencintai kalian, setidaknya kalian harus dan wajib mencintai diri sendiri. Tak ada salahnya untuk mengikhlaskan. Lebih bagus lagi kalau kalian menertawakan masalah itu, hingga mereka malu dan sungkan untuk berkunjung lagi.
Solusi tak selalu mengatasi masalah secara instan. Kadang kita harus bersabar agar semua kembali pulih. Maafkan diri sendiri, mari kita lanjutkan perjalanan lagi.
Komentar
Posting Komentar