Dia dikelilingi oleh para gadis cantik. Lihat saja mereka, wajah mereka begitu terawat dan putih berseri, seakan kulit bayi mereka tidak berganti menjadi kulit orang dewasa. Riasan itu, ah, aku yakin mereknya tidak abal-abal. Mata mereka yang bulat tampak semakin indah dengan goresan eye-liner. Bulu mata mereka begitu lentik. Alis mereka tergambar dengan apik oleh pensil alis masa kini. Dan eye-shadow tipis di kelopak mata mereka, semakin membuktikan eksistensi mereka sebagai pemilik mata yang indah. Lipstik warna pink nude ditambah blush-on warna peach membuat mereka tampak manis. Terakhir, sentuhan bedak menyempurnakan riasan natural mereka.
Dia dikelilingi oleh para gadis yang wangi. Cium saja aromanya. Kau tidak akan menemukan wewangian itu dari parfum yang dijual di minimarket pinggir jalan. Tidak hanya bajunya, bahkan dari kulit tangan mereka pun tercium aroma mawar. Entah sabun jenis apa itu, aku tak pernah tahu ada sabun beraroma mawar sepekat itu. Rambut mereka yang hitam legam dan panjang bergelombang itu juga tak luput dari aroma wangi aloevera. Ketika mereka tertawa, rambut-rambut itu bergoyang, seakan ikut bahagia karena dimiliki oleh gadis cantik seperti mereka.
Dia dikelilingi oleh para gadis yang rapi. Lihat saja pakaiannya. Dari luar saja, bisa kutebak bahwa harganya setara dengan biaya ongkos makanku selama satu bulan. Selera busana mereka bagus sekali. Mereka mampu memainkan warna atasan dan bawahan sehingga tampak matching. Flat shoes yang mereka pakai itu memhuat mereka semakin anggun. Tas tenteng yang mereka bawa membuat penampilan mereka semakin enak dipandang. Aku yakin, selain buku kuliah, di dalam tas itu pasti ada beberapa alat rias. Ya, untuk berjaga-jaga ketika riasan mereka luntur. Hehe.
Dia dikelilingi oleh para gadis yang pandai. Aku tahu, salah satu di antara mereka ada yang finalis mahasiswa berprestasi di fakultasnya. Salah satu yang lain adalah pemimpin organisasi yang begitu disegani. Beberapa yang lain dapat dikatakan sebagai perempuan yang berpengaruh di beberapa acara kampus. Ah, benar-benar gadis multitalenta.
Aku memandangi dia dari kejauhan, lalu sejenak berkaca di kamera depan ponsel. Lihat aku, tak ada riasan secantik riasan mereka. Aku hanya mengenal bedak dan pelembap bibir. Aku hanya merawat kulit wajahku dengan sabun muka biasa, tak ada tambahan apapun. Parfum yang aku pakai adalah parfum yang sering ditemukan di minimarket pinggir jalan. Setelah satu jam, aromanya memudar. Rambutku yang pendek sepundak kuikat apa adanya. Paling sering kuikat ke belakang seperti ekor kuda.
Aku hanya mengenal kaos dan celana jins. Sesekali aku mengenakan kemeja saat menghadiri acara formal. Sebagai pelengkap, aku sering menggunakan sepatu kets. Aku tidak sanggup menggunakan flat shoes karena gesekannya membuat kakiku yang kusam menjadi semakin kusam akibat bekas luka lecet.
Aku pun tak memiliki prestasi apa-apa. Mengerjakan tugas jauh-jauh hari dan mengumpulkannya sebelum masa tenggat adalah satu-satunya keahlian yang kumiliki. Aku jarang aktif di organisasi. Kupikir, mereka hanya manusia munafik yang sok baik di depan banyak orang. Sebut saja pencitraan. Ah, mendadak aku benci dengan kehidupanku sendiri.
Aku memandangi dia lagi. Masih dengan gadis cantik di sekelilingnya. Dia begitu pandai membuat gadis-gadis itu tertawa. Senyumnya merekah, pasti dia sangat bahagia. Beberapa lelaki yang ada di sana juga tidak masalah dengan kehadirannya. Sedikit lagi, aku yakin, dia akan menjadi pemilik dari segala perhatian di kerumunan itu.
Ah, sialan! Lagi-lagi perasaan itu datang. Risih rasanya setiap itu datang. Cara satu-satunya agar perasaan itu pergi adalah dengan membohongi diri sendiri. Yah, walaupun cara itu menambah lukaku dua kali lipat—tiga atau empat kali bahkan. Aku tak yakin aku punya hak untuk merasakannya karena aku merasa tak pantas. Bagaimana bisa gadis sedekil diriku merasakan cemburu?
Kemudian, dia datang. Berjalan ke arahku. Mata gadis-gadis itu mengikuti langkahnya. Dan ketika melihatku, tatapan mereka berubah sinis, seperti seorang penjahat yang sudah siap menghabisi korbannya.
“Sayang, balik, yuk! Kita mampir di bakso langganan kita dulu, ya? Laper, nih. Hehe.”
Begitulah, dia memanggilku, ‘Sayang’. Aku memang miliknya. Dia memang milikku. Tapi akhir-akhir ini aku tahu satu hal. Bahwa yang singgah belum tentu bersungguh-sungguh.
Komentar
Posting Komentar