Langsung ke konten utama

Dilan 1991 Itu...


Halo, semuanya! Selamat segala waktu!

Kemarin, 28 Februari, adalah hari ketika film Dilan 1991 rilis di bioskop. Beruntungnya gue bisa nonton pada hari pertamanya. Yaa.. nggak terlalu beruntung juga sih, karena gue telat datang ke bioskopnya. Gue baru masuk studio ketika film udah diputar, nggak tau itu udah menit keberapa. Semoga aja nggak ketinggalan banyak.

Di tulisan pertama pada bulan Maret ini, gue mau kasih sedikit resensi mengenai film Dilan 1991. Ini subyektif yaa, jujur dari diri gue sendiri. Selain itu, gue nggak akan cerita banyak karena gue nggak mau spoiler. Gue mau cerita aja tentang apa yang gue dapet setelah nonton Dilan 1991.
Dibandingkan dengan film 1990, emang bener kalau film ini lebih emosional. Di film Dilan 1990, kita disuguhi warna-warni cintanya Dilan dan Milea, dari bagaimana Dilan mendekati Milea, mencari perhatian Milea, menggombali Milea, dan lain-lain yang menunjukkan kalau Dilan itu cowok paling so sweet di seluruh jagat raya. Selain itu, Dilan 1990 juga menampilkan Milea sebagai cewek paling beruntung di dunia karena bisa dapetin cowok semanis Dilan. Udah pokoknya, kalau di kehidupan nyata nih, Dilan 1990 itu menggambarkan manisnya masa PDKT.

Nah, kalau yang di Dilan 1991, feel-nya langsung anjlok. Berlawanan banget sama Dilan 1990. Dilan 1991 ini menceritakan hubungan awal Dilan dan Milea ketika pacaran. Awalnya manis sih, tapi... ah, nggak seru kalau gue kasih tau ceritanya, nanti dibilang spoiler.

Nggak tau kenapa ya, ketika orang-orang sibuk menilai film itu jelek atau bagus, gue malah lebih suka mengambil nilai yang mau disampaikan dalam film itu. Jujur, sebenarnya gue bingung harus nulis apa tentang pesan yang ada di Dilan 1991 wkwk. Karena apa yaa? Dari segi cerita, konflik di film ini tuh kompleks banget. Emosi penonton bener-bener dimainin. Kadang dibikin ketawa, terus tiba-tiba dibikin nangis. Pesan yang mau disampaikan juga secara tersirat, nggak berdasarkan ucapan tokoh. Penonton harus bisa menebak sendiri maksud semuanya itu apa. Jadi, yang mau gue uraikan di sini adalah hasil analisis gue sendiri hehe.

Karena film ini mengambil sudut pandang dari Milea, gue akan menganalisis pesan filmnya dari segi cewek juga (it means gue). Kalian yang cewek, pernah nggak sih pas awal-awal pacaran tuh rasanya kayak cemas gitu setiap jauh dari doi? Takut doi kenapa-napa, atau takut hubungannya nggak bakal bertahan lama. Intinya kalian merasa takut tanpa sebab, sampai-sampai secara nggak sadar kalian jadi posesif. Melarang doi ini itu, bahkan terkesan mengekang doi. Kalian juga selalu jaga jarak dari cowok lain, sebisa mungkin kalian nggak bikin doi cemburu. Pengennya sama doi terus pokoknya. Pernah, nggak? Gue yakin, walaupun nggak sampai tahap pacaran, kalian pasti pernah merasakan itu sih.

Dan buat kalian yang cowok, gimana sih perasaan kalian pas awal-awal pacaran? Apakah kalian merasa puas udah ngedapetin cewek yang kalian mau, terus nggak perlu berjuang berlebihan? Apakah kalian merasa bahwa cara-cara yang kalian lakukan ketika PDKT nggak perlu dilakukan lagi ketika udah ngedapetin doi? Kalian pengen sama doi terus, tapi kalian sadar kalau dunia kalian bukan cuma tentang doi doang. Kalian pengen banget nurutin semua keinginan doi, tapi ego kalian selalu melawan. Bener gitu?

Dua paragraf di atas itu sebenarnya menggambarkan konflik batinnya Milea dan Dilan. Milea pengen terus sama Dilan. Milea melarang Dilan untuk ikut geng motor karena dia khawatir. Akan tetapi, Dilan tetap bertahan di jalannya. Menjadi pacar Milea bukan berarti Dilan harus meninggalkan geng motornya. Konflik batin ini bertabrakan sehingga kedua tokoh mengalami konflik besar yang nggak bisa dihindari. Akhirnya, keduanya cuma bisa menyesal.

Film ini tuh mau menyampaikan pesan kalau ketika kita memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seseorang, ego nggak boleh ikut campur. Komunikasi itu penting banget dalam suatu hubungan, jangan sampai miskomunikasi sampai akhirnya menyesal. Dilan juga mencerminkan kalau cowok itu nggak peka. Hal ini karena cowok lebih pakai logika daripada perasaan. Percuma cewek nangis di depan cowok kalau cewek pun nggak bisa jelasin apa yang dia mau atau apa yang dia rasain. Jadi, gue menyimpulkan, kalau pengen cowok itu peka, sentuhlah logikanya, nggak usah capek-capek bikin dia baper *ya walaupun gue masih belum tau caranya gimana:))*

Gue pernah merasakan berada di posisi Milea pas awal-awal pacaran dulu. Kurang lebih sama, sih. Pas adegan Milea ngomong "Aku mencintai kamu, Dilan." terus dia nangis, gue juga ikut nangis dong:') Gue juga pernah mengalami ketakutan itu soalnya. Sama seperti Milea, pada saat itu gue nggak bisa menjelaskan kenapa gue setakut dan secemas itu. Perasaan itu muncul tanpa sebab dan nggak bisa dijelasin, itu aja.

Overall, gue suka sama Dilan 1991. Tapi sejujurnya, gue lebih suka Dilan 1990 karena dasarnya gue nggak terlalu suka cerita sad ending. Gue pengen nonton lagi sih biar dapet feel-nya lagi. Jadi, gue kasih rate 7,5/10 buat Dilan 1991. Sekali lagi, ini subyektif ya. Kalau kalian mau tau sebenarnya gimana, tonton aja sendiri hehe.

Oke, sekian Ruang Film hari ini. Maaf ya kalau ada bumbu-bumbu spoiler-nya hehe. Terima kasih udah menyempatkan waktu untuk membaca dan selama segala waktu.

n.b: gue udah nggak sabar nonton film Milea tahun depan!!!

Sumber gambar: Instagram @_maxpictures

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Tiga Kali Gagal Nonton Show Cerita Cintaku Raditya Dika, Akhirnya...

Hai, semuanya! Selamat segala waktu. Kalian tahu special show -nya Bang Raditya Dika yang tajuknya Cerita Cintaku, nggak? Itu, tuh, yang sering jadi trending di Youtube. Videonya sih cuma tentang Bang Dika pas baca dan roasting cerita cintanya penonton sih, karena emang Bang Dika kayaknya nggak mau menggunggah show -nya secara lengkap. Jadi, bisa dibilang kalau stand up comedy -nya Bang Dika tahun ini tuh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun Bang Dika biasanya selalu menggunggah SUCRD di Youtube, tapi tahun ini tour special show -nya itu videonya dijual di website Cerita Cintaku. Kalian cek aja sendiri deh, kalau gue sertain hyperlink -nya di sini ntar disangkain ngendorse, heuheu . Gue sebagai.. ya, bisa dikatakan penggemarnya Bang Dika, pastinya merasa antusias dengan show ini dong. Apalagi, menurut gue harga tiketnya bisa dibilang terjangkau untuk ukuran komika level Raditya Dika. Namun, keantusiasan gue ini juga diiringi dengan rasa males dan gampang lupanya gue b

Catatan Aksi 24 September 2019

Halo, semuanya! Selamat segala waktu. Dua hari yang lalu, tepatnya 23 September 2019, beberapa daerah di Indonesia mengadakan aksi mahasiswa, ada Jogja dengan #GejayanMemanggil, ada Solo dengan #BengawanMelawan, ada Surabaya dengan #SurabayaMenggugat, dan lain-lain. Aksi-aksi tersebut dilakukan dalam rangka menggugat agar diadakannya revisi UU KPK dan menolak RKUHP. Para demonstran didominasi oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Sebelumnya, minggu lalu, tepatnya Selasa, 17 September, telah diadakan aksi serupa. Namun, aksi tersebut fokus pada penolakan RUU KPK dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Aksi tersebut dinamai dengan aksi Reformasi Dikorupsi dan diadakan di depan Gedung DPR/MPR. Kemarin. Selasa, 24 September, telah berlangsung aksi besar-besaran yang diikuti oleh seluruh mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya. Terdapat puluhan kampus yang bergabung dalam aksi Tuntaskan Reformasi tersebut. Bisa dibilang, aksi ini lebih besar dari aksi sebelumnya karena bertepat

IWD 2020 #EachForEqual: Karena Wanita Tak Hanya Sekadar Ingin Dimengerti

Jadi perempuan itu bagaikan dua sisi koin. Di satu sisi, perempuan itu punya privilese untuk dijaga, dilindungi, diperlakukan dengan lembut, dan diagungkan kecantikannya. Namun, di sisi lain, privilese itu bisa saja jadi lingkaran setan bagi mereka. Harus dijaga dan dilindungi, nanti dianggap lemah. Harus diperlakukan dengan lembut, nanti dianggap manja. Diagungkan kecantikannya, akhirnya muncul standar kecantikan yang dikompetisikan. Jadi perempuan itu (katanya) harus serba bisa. Bisa sekolah tinggi dan cari uang sendiri akan dianggap pandai. Namun, kerjaan rumah harus tetap selesai, mengurus anak tak boleh lalai, dan menyenangkan suami di ranjang harus piawai. Sayangnya, jadi perempuan itu punya banyak risiko: jadi korban marginalisasi dan subordinasi, jadi objek seksualitas, suaranya kurang didengar, didiskriminasi, dibatasi ruang geraknya, dan resiko lain yang mewarnai hidupnya. Perempuan dituntut untuk manut . Dilarang membangkang, apalagi memberontak. Kebebasan seakan