Langsung ke konten utama

Dekade Kedua

"Jika Jakarta adalah seorang laki-laki, maka aku akan mencintainya, bahkan berambisi untuk memilikinya." -arpd

Ini tentang perjalanan gue. Tentang peralihan dari 'belas' ke 'puluh'. Tentang pelajaran hidup yang gue dapat setelah gue memutuskan untuk merantau. Tentang bagaimana cara bertahan hidup dan berkembang di tempat asing. Tentang bagaimana gue belajar untuk mencintai jarak.

Udah setahun lebih gue singgah disini, Jakarta. Lima puluh persen lebih dari waktu itu semua, gue pakai di sini. Oke, mungkin tempat gue singgah bukan di Jakarta, tapi di Depok. Tapi yaa.. anggep aja gue di Jakarta hehe.

Pemikiran pertama yang terlintas di benak gue soal Jakarta adalah: Jakarta itu keras, jahat, dan wah. Tapi gue mencoba untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, itu nggak ada hubungannya sama kehidupan gue. Jadi, gue yakin gue bisa melalui itu semua tanpa mengganggu dinamika kehidupan gue sendiri.

Jakarta itu, bagi gue, adalah kota dengan paket lengkap. Ibarat manusia, Jakarta itu orangnya arogan, kaya, keras, sinis, egois, masa bodo, cuek.. intinya kalau Jakarta ini orang, dia mungkin orang yang paling menyebalkan yang pernah ada (apalagi kalau dia cowok). Jakarta selalu bertindak semena-mena, nggak mau kalah sama yang lain. Berusaha agar tetap unggul, tetap diakui. Jakarta itu ambisius.

Tapi ketika kalian lihat sorot matanya, terlihat jelas bahwa Jakarta adalah kota yang lelah. Lihat lebih dalam lagi, maka akan kalian temui bahwa Jakarta penuh dengan keputusasaan. Seakan dia ingin lari dari realita, tidur sejenak, dan terbangun dengan harapan baru. Gue yakin, kalau Jakarta adalah orang, dia lagi ngerasain lelah yang luar biasa.

Namun, Jakarta punya cara sendiri untuk menghibur diri--walaupun itu artinya dia harus masuk ke lingkaran setan. Gemerlap hidup yang dia punya udah cukup buat bikin dia merasa bebas. Membuatnya seakan tak akan lelah, tak pernah tidur.

Dan yahh, selama setahun ini, gue belajar untuk mencintai Jakarta. Terlepas dari sifatnya yang arogan dan egois, Jakarta punya satu hal yang indah. Langit! Oke, gue sedang tidak membicarakan bintang atau langit biru di sini. Gue membicarakan tentang gedung pencakar langit yang selalu bersaing untuk mencuri perhatian. Apalagi pas malem, ya Tuhaan.. gue jatuh cinta sama langit malamnya Jakarta :") Gemerlap lampu gedung pencakar langit itu mampu menggantikan bintang yang jarang sekali mau mampir ke sini. Yang jadi favorit gue adalah langit malam Sudirman. Gue nggak bisa ngungkapin pakai kata-kata, tapi yang jelas, dia begitu indah.

Selain Jakarta, ada satu manusia yang juga menemani gue selama menjalani proses peralihan ini. Gue nggak perlu nyebutin siapa dia, yang jelas, buat gue, dia begitu spesial. Gue dan dia udah satu tahun sama-sama. Dia itu sama kayak Jakarta--egois, arogan, tapi sejatinya dia lelah. Entah sampai kapan dia bakal ada di sisi gue, tapi yang jelas, gue bersyukur bisa dikasih kesempatan buat kenal sama manusia ini. Kalau gue nggak ketemu dan nggak kenal dia, mungkin Mitha yang sekarang nggak jadi kayak gini.

Jadi.. inti dari tulisan ini adalah gue sangat bersyukur dikasih kesempatan buat berkembang di Jakarta. Berproses untuk menjadi dewasa di kota ini membuat gue belajar untuk lebih banyak bersyukur dan mengevaluasi diri. Gue emang masih banyak gagalnya, tapi.. selama gue masih punya nafas, gue masih bisa buat terus mencoba. Because if I never try, I never know.

- gadis perantau yang memasuki dua dekadenya, Mitha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Tiga Kali Gagal Nonton Show Cerita Cintaku Raditya Dika, Akhirnya...

Hai, semuanya! Selamat segala waktu. Kalian tahu special show -nya Bang Raditya Dika yang tajuknya Cerita Cintaku, nggak? Itu, tuh, yang sering jadi trending di Youtube. Videonya sih cuma tentang Bang Dika pas baca dan roasting cerita cintanya penonton sih, karena emang Bang Dika kayaknya nggak mau menggunggah show -nya secara lengkap. Jadi, bisa dibilang kalau stand up comedy -nya Bang Dika tahun ini tuh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun Bang Dika biasanya selalu menggunggah SUCRD di Youtube, tapi tahun ini tour special show -nya itu videonya dijual di website Cerita Cintaku. Kalian cek aja sendiri deh, kalau gue sertain hyperlink -nya di sini ntar disangkain ngendorse, heuheu . Gue sebagai.. ya, bisa dikatakan penggemarnya Bang Dika, pastinya merasa antusias dengan show ini dong. Apalagi, menurut gue harga tiketnya bisa dibilang terjangkau untuk ukuran komika level Raditya Dika. Namun, keantusiasan gue ini juga diiringi dengan rasa males dan gampang lupanya gue b

Catatan Aksi 24 September 2019

Halo, semuanya! Selamat segala waktu. Dua hari yang lalu, tepatnya 23 September 2019, beberapa daerah di Indonesia mengadakan aksi mahasiswa, ada Jogja dengan #GejayanMemanggil, ada Solo dengan #BengawanMelawan, ada Surabaya dengan #SurabayaMenggugat, dan lain-lain. Aksi-aksi tersebut dilakukan dalam rangka menggugat agar diadakannya revisi UU KPK dan menolak RKUHP. Para demonstran didominasi oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Sebelumnya, minggu lalu, tepatnya Selasa, 17 September, telah diadakan aksi serupa. Namun, aksi tersebut fokus pada penolakan RUU KPK dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Aksi tersebut dinamai dengan aksi Reformasi Dikorupsi dan diadakan di depan Gedung DPR/MPR. Kemarin. Selasa, 24 September, telah berlangsung aksi besar-besaran yang diikuti oleh seluruh mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya. Terdapat puluhan kampus yang bergabung dalam aksi Tuntaskan Reformasi tersebut. Bisa dibilang, aksi ini lebih besar dari aksi sebelumnya karena bertepat

IWD 2020 #EachForEqual: Karena Wanita Tak Hanya Sekadar Ingin Dimengerti

Jadi perempuan itu bagaikan dua sisi koin. Di satu sisi, perempuan itu punya privilese untuk dijaga, dilindungi, diperlakukan dengan lembut, dan diagungkan kecantikannya. Namun, di sisi lain, privilese itu bisa saja jadi lingkaran setan bagi mereka. Harus dijaga dan dilindungi, nanti dianggap lemah. Harus diperlakukan dengan lembut, nanti dianggap manja. Diagungkan kecantikannya, akhirnya muncul standar kecantikan yang dikompetisikan. Jadi perempuan itu (katanya) harus serba bisa. Bisa sekolah tinggi dan cari uang sendiri akan dianggap pandai. Namun, kerjaan rumah harus tetap selesai, mengurus anak tak boleh lalai, dan menyenangkan suami di ranjang harus piawai. Sayangnya, jadi perempuan itu punya banyak risiko: jadi korban marginalisasi dan subordinasi, jadi objek seksualitas, suaranya kurang didengar, didiskriminasi, dibatasi ruang geraknya, dan resiko lain yang mewarnai hidupnya. Perempuan dituntut untuk manut . Dilarang membangkang, apalagi memberontak. Kebebasan seakan